Rabu, 15 Desember 2010

MELACAK KEDATANGAN BADEN POWELKE INDONESIA


Melacak Kedatangan Baden-Powell ke Indonesia Rekan Retty Hakim mengirim pesan layan singkat (SMS) ke nomor telepon seluler saya, Jumat (22/2) siang. "Hallo, ....Dari mana saja menghilang?" Pertanyaan Retty itu beralasan. Mungkin ada dua minggu lebih saya tak menulis apa pun untuk salah satu situs komunitas. Padahal, biasanya paling sedikit seminggu sekali saya mengirim tulisan ke situs itu.

Penyebabnya, tak lain karena saya sedang asyik melacak data sejarah kedatangan Bapak Pandu Sedunia, Lord Baden-Powell, ke Indonesia. Baden-Powell pernah ke Indonesia? Ya, betul. Itulah sebabnya, saya melakukan penelitian pribadi tentang data sejarah itu, yang hasilnya saya persembahkan tepat pada 22 Februari 2008, tanggal yang diperingati para pandu di seluruh dunia sebagai Hari Baden-Powell atau diistilahkan juga dengan Founder's Day di kalangan pandu putera, dan Thinking Day di kalangan pandu puteri.
Sebenarnya, data tentang kedatangan Baden-Powell pernah diungkapkan dalam buku Patah Tumbuh Hilang Berganti - 75 Tahun Kepanduan dan Kepramukaan yang diterbitkan oleh Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka pada 1987. Di halaman 25 buku tersebut terdapat subjudul "Peristiwa kedatangan Baden Powell dan Jambore Dunia".
Di situ dituliskan antara lain, "Suatu peristiwa yang tidak mudah dilupakan adalah kedatangan Lord Baden Powell of Gilwell dan Lady Baden Powell di Indonesia, pada tanggal 3 Desember 1934, dalam rangka kunjungan keliling ke beberapa negara, waktu kembali dari Jambore di Australia. Baden Powell melihat keadaan dan perkembangan organisasi kepanduan di Indonesia, yang biarpun pada waktu itu Indonesia dijajah oleh Belanda, namun perkumpulan kepanduannya berkembang sangat pesat dan menggembirakan."
lord_baden_powell.jpg
Pada alinea berikutnya dituliskan, "Penerimaan dan acara kunjungan Baden Powell itu diatur sendiri oleh NIPV. Pandu-panduIndonesia hendak ikut serta menyambut kedatangan Baden Powell, tetapi tidak diperkenankan oleh pimpinan NIPV. Hal ini mengakibatkan bertambah besarnya ketegangan hubungan kepanduan nasional Indonesia dan NIPV."
Data tersebut telah berulang kali saya baca, tetapi hanya sebatas itu saja. Apalagi data dari buku itu telah sering pula dijadikan acuan dalam berbagai penerbitan Kwarnas. Itulah sebabnya, pada awalnya saya tak begitu menaruh perhatian pada keterangan itu. Tapi segalanya berubah tanpa disengaja.
Saya kembali tertarik membaca buku itu, berkaitan dengan tugas jurnalistik saat wafatnya mantan Presiden Soeharto. Ketika itu, saya membuat tulisan berjudul "Soeharto dan Pramuka Indonesia" untuk suratkabar harian Suara Pembaruan, tempat saya bekerja. Namun saat akan dimuat, Asisten Redaktur Kesra di harian tempat saya bekerja mengatakan bahwa dia sedang mencari foto Pak Harto dengan seragam Pramuka. Teringat buku Patah Tumbuh Hilang Berganti - 75 Tahun Kepanduan dan Kepramukaan yang ada di rak buku saya dan seingat saya di dalamnya cukup banyak foto Soeharto yang mengenakan seragam Pramuka, saya pun membawa buku itu ke kantor. Salah satu foto dari buku itu akhirnya dipilih sebagai ilustrasi tulisan "Soeharto dan Pramuka" - berubah sedikit dari judul yang saya berikan awalnya - yang dimuat di Suara Pembaruan edisi 29 Januari 2008.
Itulah awalnya, tanpa sengaja saya membuka-buka kembali buku terbitan Kwarnas tersebut. Maka saya pun kemudian mencoba melacak kembali data sejarah kedatangan Baden-Powell ke Indonesia. Pelacakan saya lakukan dengan penelitian kepustakaan terhadap bundel fotokopi majalah kepanduan Het Padvindersblad, majalah berbahasa Belanda yang merupakan majalah resmi Nederlandsch-Indische Padvinders Vereeniging, organisasi kepanduan Hindia-Belanda. Juga terhadap bundel fotokopi majalah Pandoe, majalah berbahasa Melayu-Indonesia (bahasa Indonesia ‘tempo doeloe') yang merupakan majalah resmi Kepandoean Bangsa Indonesia. Bundel-bundel fotokopi dari majalah-majalah tahun 1930-an itu sebenarnya telah cukup lama disimpan di Kwarnas, tetapi kurang diperhatikan.
Saya juga mengunjungi Perpustakaan Nasional di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat. Di bagian mikrofilm, saya berhasil meminjam mikrofilm suratkabar harian Bintang Timoer edisi tahun 1934. Suratkabar ini dipimpin oleh salah satu tokoh perintis pers Indonesia, Parada Harahap.
Sejumlah buku kepanduan dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia juga saya telusuri datanya. Hasilnya, ternyata data yang termuat dalam buku Patah Tumbuh Hilang Berganti - 75 Tahun Kepanduan dan Kepramukaan banyak yang kurang akurat. Nama Bapak Pandu Sedunia ditulis Baden Powell, padahal seharusnya Baden-Powell dengan garis sambung.
Lalu tanggal kedatangan Baden-Powell ke Indonesia yang ketika itu masih berada dalam jajahan Belanda dan dinamakan Hindia-Belanda (Nederlands Indie/Dutch East Indies) bukan 3 Desember 1934 melainkan 4 Desember 1934. Baden-Powell juga bukan datang ke Indonesia, waktu kembali dari Australia. Justru Baden-Powell beserta istri dan dua anak perempuannya ke Indonesia terlebih dulu, baru ke Australia untuk menghadiri jambore di "Negeri Kanguru" itu.
Kurang tepat pula bila dikatakan tak ada pandu-pandu Indonesia yang ikut menyambut Baden-Powell dan keluarganya. Kenyataannya, bahkan tarian Jawa dan Baduy dari Banten, ikut ditampilkan dalam upacara menyambut kedatangan Bapak Pandu Sedunia. Baden-Powell juga mendapat gong berukir, sementaranya istrinya, Lady Olave Baden-Powell, mendapat piala perak, sebagai hadiah kenang-kenangan dari para pandu di Hindia-Belanda.
Hasil penelitian saya itu, kemudian saya tampilkan dalam buku berjudul B-P & I (Baden-Powell & Indonesia) dengan subjudul "Melacak sejarah kedatangan Baden-Powell ke Indonesia" setebal 89 halaman. Buku itu kemudian saya terbitkan secara terbatas untuk memperingati Hari Baden-Powell/Founder's Day pada 22 Februari 2008. Buku tersebut telah saya bagikan kepada sejumlah tokoh Gerakan Pramuka seusai acara peringatan Hari Baden-Powell di Cibubur, Jakarta Timur, Jumat sore. Di antaranya kepada Wakil Ketua Kwarnas, Kak Amoroso Katamsi, lalu kepada Sekretaris Jenderal Kwarnas, Kak Joedyaningsih, dan Kepala Lembaga Pendidikan Kader Nasional Gerakan Pramuka, Kak Djoko Mursito.
Inilah bingkisan kecil yang saya persembahkan di Hari Baden-Powell tahun ini, yang tanpa terasa telah 40 tahun pula saya menjadi anggota Gerakan Pramuka sejak pertama kali mendaftar sebagai Calon Pramuka Siaga pada 1968.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar